Mitologi Jawa Nusantara
"Kepercayaan Pulung & Wahyu"
Selamat datang teman yang mengunjungi artikel ini, dalam artikel ini saya akan membahas tentang kepercayaan adanya pulung & wahyu , adapun artikelnya yang akan kita bahas adalah sebagai berikut yang tertulis di bawah.
Dalam hidup bermasyarakat, orang Jawa percaya akan adanya Pulung dan Wahyu yang berkaitan dengan kekuasaan negara. Orang Jawa percaya bahwa para penguasa negara (keraton) itu mendapat pulung atau wahyu keraton. Sebab hanya manusia yang unggul (mendapat wahyu dan pulung) yang bisa dan kuat menerima amanah menjadi penguasa negara, menjalankan amanah kepamongan atas seluruh wilayah kedaulatannya; Sembada Ngembat Pusaraning Praja. Unggul-nya manusia penyandang wahyu/pulung itu bukan yang nampak dalam tata-lahir, melainkan juga mencakup kewiba-waan (kharisma) dalam memimpin rakyat.
Pulung artinya keberuntungan yang diberikan Tuhan kepada seseorang sehingga orang itu dapat menjadi penguasa. Sedang wahyu adalah wujud kelebihan yang diberikan Tuhan kepada seseorang yang dikehendaki-Nya dapat melaksanakan tugas sebagai raja.
Pulung memang suatu kepastian dari Yang Mengelola Makhluk, tetapi pulung bisa juga nemu, seperti yang dilukiskan dalam cerita wayang “Petruk Dadi Ratu“. Cerita itu sebenarnya untuk menyindir orang kecil (wong cilik) yang nemu pulung penguasa sehingga menjadi raja. Padahal jadi raja itu perlu berbagai syarat kebisaan macam-macam yang umumnya tidak dimiliki oleh wong cilik seperti halnya Petruk. Makanya setelah menjadi raja dan memiliki kekuasaan, Petruk jadi lupa daratan. Tingkah lakunya merusak aturan negara yang dikuasai. Pokoknya bersikap sebagai Petruk, tetapi diterapkan untuk mengelola negara. Akibatnya rakyat menjadi bingung tidak keruan. Maka Prabu Kresna, titisan Wisnu, yang bertugas menjaga ketenteraman jagad, memerintahkan Gareng yang juga wong cilik untuk menyelesaikan masalah. Petruk yang seorang raja mau diajak gulat tanpa senjata seperti gulatnya anak kecil (ini perbuatan yang pantang bagi seorang raja) melawan Gareng, sehingga pulungnya hilang (oncat), Raja Petruk kembali ke asal sebagai Petruk Punakawan (abdi, hamba).
Mungkin saja maksud yang membuat cerita “Petruk Dadi Ratu” (mesthinya pujangga yang bijaksana) adalah memberi ajaran yang disamarkan. Bahwa bilamana ada penguasa (ting-katan apa saja) yang sejatinya tidak pantas, maka akhirnya akan merusak aturan. Padahal aturan yang selaras dan baik itu merupakan “cita-cita” yang selalu diperjuangkan oleh manusia dalam kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Maka ketika aturan sudah rusak akan ada pemberontakan para kawula yang tercerahkan, yaitu berwujud Gareng yang diberi “kesaktian” oleh Prabu Kresna, walaupun bentuknya sederhana, “berani menantang Raja Petruk untuk Duel Gelut Uleng“. Mengajak Raja Petruk untuk menyadari kembali bahwa sejatinya dia tidak pantas menjadi raja, karena keadaannya memang bukan berjatah sebagai raja.
Jadi, pulung dapat disandang oleh siapa saja. Berbeda dengan wahyu yang selalu memilih tempat bersemayam. Tempatnya adalah seseorang yang memiliki sifat “Satriya Anuraga“. Satria yang selalu memelihara kesetiaannya kepada bangsa dan negaranya. Namun begitu, wahyu juga bisa dirampok (dibajak) oleh orang-orang yang bukan satria sama sekali. Hanya saja, bila si pembajak kurang kuat ya berubah jadi gendheng atau dèglèngbanyak tingkah laku ngawurnya yang kemudian membuat sang wahyu pergi (oncat).
Dalam pewayangan bajak-membajak wahyu ini salah satunya dicontohkan dalam lakon Wahyu Cakraningrat. Wahyu ini seharusnya bersemayam di Abimanyu, anak Arjuna. Namun demikian, berhasil dibajak oleh Lesmana (anak Duryudana) dan Samba (anak Kresna). Berhubung Lesmana dan Samba tidak kuat, maka setelah ditempati (disemayami) “wahyu keraton” malah menjadi gila dan sombong. Padahal Lesmana dan Samba ini anak raja, sedang Abimanyu hanya anak “pangeran”.
Kepercayaan orang Jawa tentang pulung dan wahyu me-mang sering dijadikan bahan olok-olok oleh kelompok masyarakat yang tidak percaya. Padahal sesungguhnya ada ajaran keutamaan tentang urusan bernegara dan menjadi penguasa yang melatar-belakangi kepercayaan orang Jawa itu. Setidak-tidaknya ajaran spiritual dalam mengurus negara dan kekuasaan:
Mengurus negara dan kekuasaan membutuhkan orang pilihan yang mumpuni (kompeten) bukan hanya dalam tata lahir, tetapi juga dalam kebatinannya (spiritualnya). Agar dapat mumpuni, disyaratkan untuk mengendalikan diri dan melatih “budi pribadinya”, bukan hanya karena mendapat restu para pendeta atau ulama (jaman sekarang). Kalau dipaksakan dengan taktik politik yang tidak didasari budi luhur pasti kuwalat. Tidak bakal tahan lama memegang kekuasaan, dan biasanya ditambah mendapat “piwelèh” seperti yang dialami “Ratu Petruk” yang dibuka kedoknya oleh Gareng, jatuhnya akan sangat memalukan sekali dan selanjutnya menjadi “tidak kajèn” hidupnya. Kehilangan kawiryan, padahal tadinya mengejarnya!
Mengurus negara dan kekuasaan negara tidak boleh dibuat mainan atau hanya untuk kepentingan pribadi, kelompok atau golongan, tetapi merupakan amanah dari Tuhan Yang Maha Agung demi rakyat banyak dan seluruh tumpah darah (demi nusa dan bangsa). Orang terpilih itu haruslah yang kuat dan mampu memegang jalannya roda pemerintahan yang menyejahterakan dan berkeadilan, sehingga memiliki watak Ratu Gung Binathara (raja Agung yang dianggap titisan Bathara). Artinya mampu mandiri (mandirèng pribadi) agar pengaruhnya membuat rakyat juga memiliki sikap mandiri dan merdeka. Walaupun sakti seperti apapun, pendeta atau ulama, tetap tidak pantas dimintai restu atau legitimasi oleh seseorang untuk menjadi penguasa negara. Dalam konsep Jawa, drajat pendeta atau ulama itu tetap di bawah raja. Tentang hal ini, dalam cerita wayang dicontohkan dengan tidak kuatnya Lesmana menyandang Wahyu Cahkraningrat. Lesmana berhasil membajak wahyuberkat restu pendeta dari mancanegara (Durna) dan didukung oleh para birokrat nepotis yang penuh pamrih (Sengkuni dan kawan-kawan). Wahyu keraton juga tidak akan bersemayam kepada seseorang yang tidak mantap sikapnya (mangro tingal). Sepandai apapun Raden Samba tetap tidak kuat dihuni Wahyu Cakraningrat, sebab wahyu itu untuk “calon” raja Hastina, sedang Samba adalah putera Dwarawati. Analogi untuk jaman sekarang: Yang ingin menerima wahyu menjadi pemimpin di Indonesia ya harus tidak mendua kiblat ideologinya. Harus tidak meninggalkan Ideologi Kebangsaan Indonesia!
===============================================================================
Sekian dari kepercayaan adanya pulung & wahyu, silahkan tinggalkan komentar dan jangan lupa untuk share artikel ini jika bermanfaat menurut kalian, jangan lupa kunjungi media sosial pinatih95 yang ada pada instagram, facebook, youtube, maupun kaskus, akhir kata saya ucapkan terimakasih telah berkunjung dan membaca artikel ini.