Mitologi Jawa Nusantara
"Kepercayaan Adanya Dewa"
Selamat datang teman yang mengunjungi artikel ini, dalam artikel ini saya akan membahas tentang kepercayaan adanya dewa, adapun artikelnya yang akan kita bahas adalah sebagai berikut yang tertulis di bawah.
Kepercayaan Adanya Dewa-dewa
Dalam peradaban Jawa, memang ada kepercayaan adanya dewa-dewa yang ikut menentukan keadaan jagad. Mungkin saja kepercayaan akan dewa-dewa Jawa itu merupakan campuran peradaban Jawa-Hindu-Buddha, karena ada banyak kemiripan sebutan dewa-dewanya. Misalnya dewa “Bethara Guru” sebagai pemimpin para dewa. Kepercayaan demikian juga terdapat di peradaban Bugis Kuna (I La Galigo), peradaban Batak (Para-malim), peradaban Minangkabau (Pagar Ruyung), Dayak (Kaharingan) dan sebagainya.
Bila diperhatikan lebih jauh, kepercayaan Jawa akan dewa ternyata tidak sama dengan sistem Dewa Hindu. Dewa-dewa Hindu yang disebut Trimurti (Brahma, Wisnu, Syiwah) di Jawa dianggap anak Bethara Guru dan masih diberi saudara dewa yang banyak sekali jumlah dan jenisnya (kedudukan dan tugas kedewaannya). Apalagi, kenyataannya dewa-dewa di Jawa itu tidak disembah. Derajatnya dianggap makhluk ciptaan Gusti Kang Murbeng Dumadi dan dipersaudarakan dengan manusia (disedulurake).
Bila dikaji benar-benar, sesungguhnya menurut keperca-yaan Jawa, kejadian jagad raya seisinya, jelas bahwa diciptakan oleh Sang Hyang Wenang (sebutan Sesembahan asli Jawa). Dalam menciptakan jagad raya, terlaksana dengan jalan mere-mas antiga (telur, wiji, winih, bebakalan) di jagad awang-uwung suwung. Jagad Awang-Uwung itulah persemayaman Sang Hyang Wenang pribadi. Wujud ciptaan-Nya adalah jagad raya yang luasnya tanpa batas. Isinya adalah Manikmaya (Dzat Hidup, Suksma), bumi dan langit (jagad materi), cahaya dan energi (teja).
Manikmaya atau Dzat Hidup selanjutnya menjadi Hyang Manik dan Hyang Maya. Perumpamannya seperti bunga de-ngan tangkainya (kembang lan cangkoke) atau permata dengan embanannya (sesotya lan embane). Dapat juga digambarkan seperti inti sel hidup dengan plasmanya. Ketika bertempat pada “manusia” menjadi pancer dan sedulur papat.
Hyang Manik diberi wewenang untuk mengatur jagad, sedang Hyang Maya (Ismaya) diberi tugas memelihara (mo-mong) jagad seisinya. Dalam melaksanakan kewajiban dari Sang Pencipta, Hyang Manik dan Hyang Maya lalu menu-runkan anak. Walaupun dalam pewayangan penggambaran anak-turun dewa itu seperti “anak biologis”, tetapi sesu-ngguhnya wujud anak-anak dewa tadi adalah spiritual-derivative, artinya beremanasi lagi menjadi dewa-dewa yang akhirnya juga beremanasi masing-masing sesuai dengan tugas dan kedudukan kedewaannya.
Sebagai contoh: Hyang Anantaboga (Antaboga, yang digambarkan berwujud naga), dewa yang mengelola planet bumi, disebutkan bahwa dia adalah salah satu anak Hyang Maya (Hyang Ismaya atau Semar). Jadi Anantaboga adalah emanasi dari Hyang Maya (pamomong jagad) yang tugasnya mengelola (momong, to govern) bumi. Maka kahyangan Hyang Anantaboga adalah pusat bumi (telenging bumi : Sapta Pratala). Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa Hyang Anantaboga adalah personifikasi daya keilahian bumi, yaitu bagian dari “Kekuasaan Ilahi” yang mengelola jagad dan mendapat tugas mengelola bumi. Pengaturan (penguasaan; wasesaning) jagad berada di tangan Hyang Manik (dalam pewayangan: Bethara Guru).
Jagad raya dicipta selaras dan indah (hayu) dalam segalanya. Akan tetapi dalam keselarasan itu sebenarnya terjadi pergolakan dinamis. Contohnya, bumi yang ditempati manusia ini kenyataannya dalam keadaan berputar pada porosnya dan dalam keadaan beredar mengitari matahari tanpa henti sejak diciptakan hingga nanti entah kapan berakhir. Putaran dan pergerakan bumi itu ternyata tidak sendirian, bahkan matahari yang dikitarinya juga dalam keadaan berputar pada poros dan dalam keadaan mengitari pusat galaksi Bimasakti. Ternyata lagi, galaksi Bimasakti juga dalam keadaan bergolak dinamis mengitari pusat super-galaksi, demikian seterusnya, sehingga jagad raya itu selalu berubah dinamis sejak diciptakan hingga nanti entah kapan berakhir. Menurut mitologi Jawa, yang menggerakkan jagad itu dipersonifikasi dengan sebutan Hyang Maya, atau Hyang Ismaya. Atau Hyang Taya, alias Semar. Dengan demikian, Hyang Ismaya atau Semar itu bukan nama sesembahan, tetapi merupakan manifestasi “Kuasa Ilahi” atau spiritual-derivative dari Sesembahan.
Selanjutnya “Kuasa Ilahi” tadi berpencaran (memancar) sesuai dengan kewajiban masing-masing. Semua dipersonifi-kasi dengan sebutan Hyang atau Bathara. Ada yang mbaureksa matahari disebut Hyang (Bethara) Surya. Ada yang mbaureksa samudera disebut Hyang Baruna, yang mengelola angin disebut Hyang Bayu dan sebagainya.
Hyang Anantaboga, spiritual derivative Kuasa Ilahi yang bertempat di bumi, selain menjaga keselarasan ordinat bumi di jagad raya, juga memiliki kewenangan menata keselarasan di dalam bumi itu sendiri. Disebutkan dalam cerita mitologis, bahwa ekor (pethit) Hyang Anantabogalah yang menyangga kahyangan dewa-dewa lain. Kajiannya, bahwa “Kuasa Ilahi” yang bersemayam di bumi itu juga yang mengimbangi “Kuasa Ilahi” yang bersemayam di benda-benda angkasa lainnya. Dengan begitu, bumi dapat terpelihara ordinatnya dan selalu berputar pada poros dan bergerak dalam orbitnya mengelilingi matahari.
Mitologi dewa-dewa Jawa juga menceritakan bahwa Hyang Anantaboga memiliki anak dan cucu yang mbaureksa di tempat-tempat tertentu di bumi. Artinya tempat-tempat yang “ditunggui” dan dikelola oleh anak-cucu Anantaboga itu merupakan konsentrasi energi kosmis bumi. Setiap tempat yang ada konsentrasi energi kosmis bumi dianggap wingit dan ditempati oleh dhanyang yang berwujud naga atau Ular Dhanyang. Menurut mitologi Jawa, Ular Dhanyang dianggap anak cucu Hyang Anantaboga.
Menurut mitologi Jawa, kahyangan para dewa untuk menjaga keselarasan bumi (jagad) bertempat di Gunung Tenguru (Himalaya). Akan tetapi dewa-dewa juga membangun kahyangan di Gunung Mahendra (Gunung Lawu) di Jawa. Maka lalu ada keyakinan bahwa Gunung Lawu merupakan konsentrasi energi spiritual yang berkaitan dengan “mandat kekuasaan” dari para dewa untuk para penguasa Jawa (Nusantara). Konsentrasi energi spiritual itu disebut “Jamur Dwipa”. Selanjutnya ada kepercayaan bahwa siapa saja yang dapat “menghisap” atau “mencerap” energi “Jamur Dwipa” dapat ditempati “Wahyu Keraton” dan dapat menjadi penguasa di Jawa (Nusantara).
===============================================================================
Sekian dari kepercayaan adanya dewa, silahkan tinggalkan komentar dan jangan lupa untuk share artikel ini jika bermanfaat menurut kalian, jangan lupa kunjungi media sosial pinatih95 yang ada pada instagram, facebook, youtube, maupun kaskus, akhir kata saya ucapkan terimakasih telah berkunjung dan membaca artikel ini.