"Santet ala Daerah Timur"
Hati-hati kang kalau di Papua, begitulah pesen seorang kolega ketika kali pertama saya bilang hendak ke Papua, 2012 silam karena ada proyek kubah di masjid raya Jayapura. Saya tidak menanyakan lebih jauh selain membalasnya dengan kalimat Ok. Pikir saya kala itu, hati-hati dalam artian menjaga diri karena di Papua masih sering terjadi tindak kekerasan yang lebih tinggi dibanding di Jawa.
Hingga kemudian ketika saya sudah sampai di Jayapura saya sempatkan menghubungi kolega saya tersebut. Maklum, dia hampir tak kurang dari 15 tahun bertugas di Jayapura. Pada judul di atas mungkin kisanak kurang familiar. Suanggi, adalah mesin pembunuh tradisional ala Papua, atau dalam kalimat lain santetnya orang Papua. Nah, pada kesempatan ini saya akan bagikan seluk beluknya untuk menambah wawasan buat kita semua.
Secara umum, prinsip dasar cara kerja Suanggi ini serupa dengan Santet atau Teluh. Di Papua sendiri Suanggi ini mempunyai banyak sebutan, tergantung pada bahasa suku yang hidup di Papua. Suku Meyah yang menyebutnya Merejs, suku Hatam menyebutnya Mpieda, dan suku Sough menyebutnya Surera. Setidaknya yang saya tahu tiga nama tersebut yang kebetulan tersimpan di buku saku.
Sayangnya, saya tidak mendapat informasi, sejak kapan peraktek Suanggi ini dilakukan. Mungkin, penekun ilmu Suanggi ini sangat berhati-hati menjalankan aksinya hingga tak ada informasi yang keluar. Para pemilik ilmu ini juga tidak dengan mudah membagi atau menurunkan ilmunya pada orang yang tidak jelas asal-usulnya. Ilmu Suanggi ini juga hanya dipraktekkan hanya kaum pria saja.
Pada kesempatan lain, setelah pekerjaan selesai sambil menunggu pulang, saya berkesempatan diajak oleh Pak Warno (pensiuan asal Kebumen) berkunjunga ke kediaman seorang Undoapi (entah ketua adat atau suku saya kurang jelas). Nah, dari keterangan Undoapi inilah saya mendapatkan keterangan lebih jauh tentang Suanggi.
Undoapi sendiri menuturkan, kelompok ini (penekun Suanggi) sangat tertutup. Hanya orang-orang tertentu saja yang mengenalinya. Bahkan sesama satu suku sekalipun. Tidak ada yang tahu tentang jenis tanaman apa dalam praktek ini, kecuali penekunnya sendiri.
Selain untuk tugas mencederai dan bahkan membunuh, ilmu Suanggi ini juga sebagai sarana untuk memberi ‘makan’ pada makhluk halus atau ilmu gaib kepunyaannya. Seperti penekun kuyang di Kalimantan itulah kira-kira.
Kalaupun toh bisa dikatakan pembeda antara penekun Suanggi dan Santet atau sebangsanya, penekum Suanggi ini tidak bisa membunuh atas keingiannya sendiri. Dia hanya bisa menjalankan tugas manakala ada pesanan dari orang lain. Tugas ini biasanya dilatarbelakangi oleh dendam keluarga secara turun temurun, misalnya hukuman atas perzinahan yang dilakukan oleh korban ataupun karena kudeta kekuasaan. Suksesi Undoapi misalnya, hal ini kerap terjadi.
Tentu saja hal ini bukanlah gratis, ada uang ada barang begitulah hukumnya. Namun bukan perkara nilai nominal saja yang mesti ditanggung oleh seorang pemesan, konsekuesi lain pun ada dalam transaksi ini. Misalnya, bila keluarga korban melakukan tindakan balasan dengan menggunakan jasa penekun Suanggi lainnya.
Tak jarang dalam kasus transaksi ini, penekun Suanggi bisa saja menjadi agen ganda alias membelot dan malah mengeksekusi kliennya. Biasanya hal ini karena faktor kedekatan emosional antara pelaku dan calon korban. Tak ada makan siang yang gratis, itulah sebutan yang pas.
Seperti halnya Santet, nilai nominal sebagai imbalan untuk menyelesaikan proyek membunuh dalam senyap ini juga variatif. Di masa lalu, pengguna Suanggi dijanjikan hal-hal yang menggiurkan. Tapi yang wajib dalam hal ini, selain nominal uang tentunya, adalah kain Timor kualitas 10 mata (saya kurang tau modelnya kainnya seperti apa), jika dinilai uang kain ini bisa mencapai Rp. 15 juta perlembar. Kain Toba, senilai Rp. 30 juta, babi dan sejumlah uang.
Tapi ada juga yang bilang, karena ketatnya persaingan para dukun Suanggi kini ‘hanya’ mematok harga antara Rp. 7-10 juta belum termasuk babi. Serupa dengan Santet, semakin tinggi status sosial calon korban, maka harganya menjadi mahal. Hal serupa juga berlaku pada Suanggi.
Dalam Suanggi setidaknya dikenal ada dua macam cara dalam mencapai tujuan. Pertama cara halus tapi lambat, atau cara kasar tapi cepat. Cara lambat memang membutuhkan waktu, namun konon sangat efektif. Cara ini dipilih biasanya untuk menghindari balas dendam dari keluarga korban. Prakteknya, cara lambat ini menggunakan doti-doti atau teknik racun.
Doti adalah praktek pengiriman ilmu gaib melalui media angin. Konon, hanya dengan menjetikkan jari sejumlah benda asing akan masuk ke tubuh korbannya. Cara ini sangat mirip dengan santet. Bedanya, benda yang masuk berupa kulit kayu merah atau mereva, halia merah dan benda-benda berbahaya lainnya.